Kamis, 28 Maret 2013

Makalah Hukum Pers


 Ditulis Oleh Ganda Putra Marbun, S.H.

MAKALAH HUKUM PERS
Eksistensi TV Sebagai Media Penyiaran di Indonesia

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan  teknologi komunikasi dan  informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya  akan  hak  untuk mengetahui  dan  hak  untuk memperoleh  informasi.  Informasi  telah  menjadi kebutuhan  pokok  bagi  masyarakat  dan  telah  menjadi komoditas  penting  dalam  kehidupan  bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perkembangan  teknologi komunikasi dan  informasi tersebut  telah  membawa  aplikasi  terhadap  dunia penyiaran,  termasuk  penyiaran  di  Indonesia.  Penyiaran sebagai  penyalur  informasi  dan  pembentuk  pendapat umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam perkembangan demokrasi di negara kita. Penyiaran telah menjadi  salah  satu  sarana  berkomunikasi  bagi masyarakat,  lembaga  penyiaran,  dunia  bisnis,  dan pemerintah. Perkembangan tersebut telah menyebabkan landasan hukum pengaturan penyiaran yang ada selama ini  menjadi  tidak  memadai.  Peran  serta  masyarakat   dalam  menyelenggarakan  sebagian  tugas-tugas  umum pemerintah,  khususnya  di  bidang  penyelenggaraan penyiaran,  tidaklah  terlepas  dan  kaidah-kaidah  umum penyelenggaraan  telekomunikasi  yang  berlaku  secara universal.
Dengan  diundangkan  dan  diberlakukannya  UU nomor  32  Tahun  2002  tentang  penyiaran,  dunia penyiaran  kita  mengalami  perubahan  yang  berarti. Pertumbuhan  penyiaran  radio  dan  televisi  baik  di  kota maupun  di  daerah  akan  meningkat.  Di  samping bertambah  luasnya  penyiaran,  khususnya  televisi, membuat  banyak  perubahan  struktur  dari  gemeinschaft menjadi  gesselsehaft.  Perubahan  tersebut mengakibatkan  munculnya  sifat-sifat  egois  pada  setiap individu.  Terbukanya  peluang  bagi  masyarakat  untuk berusaha  di  bidang  penyiaran  juga  mengakibatkan lembaga  penyiaran  tidak  memperhatikan  nilai-nilai agama  dan  budaya  bangsa  dalam  menayangkan  / mensiarkan program siarannya.
Di  bawah  ini  akan  dibahas,  tayangan-tayangan televisi  di  Indonesia  yang  akhir-akhir  ini  banyak meresahkan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Sudah efektifkah tayangan televisi di Indonesia ?
2. Bagaimanakah peran Komite Penyiaran Indonesia ?

PEMBAHASAN

A. Keberadaan Televisi
Televisi  makin  populer  serta  makin  perkasa  di masyarakat  Indonesia.  Hampir  setiap  pasang  mata manusia Indonesia setiap hari tertuju kepadanya. Sesuai dengan sifat masyarakat kita yang masih masuk kategori viewers soclety (masyarakat pemirsa), maka keberadaan televisi  makin  hari  makin  menjadi  idola  bahkan  oleh banyak  kalangan  sempat  disebut  sebagai  agama  baru.
Sadar  akan  keberadaannya,  maka  para  pengelola televisi  nasional  berusaha  secara  maksimal,  terutama sesuai  dengan  salah  satu  fungsinya  sebagai  lembaga teknis,  saling  berebut  kue  keuntungan  (profit). Senyalemen Theodore Adarno yang dia sampaikan pada 1962  melalui  teorinya  Political  ekonomic  degan menyebut  bahwa  media  massa  akan  menjadi  alat penguasa  dan  penguasa  untuk meraih  kepentingannya, makin menjadi kenyataan.
Sayangnya  antusiasme  yang menggebu-gebu  dari para  pengusaha  untuk  mengelola  stasiun  televise (television  broadcast) menyebabkan munculnya  stasiun televisi  nasional  yang  terlalu  banyak  jumlahnya. Bandingkan  sebelas  stasiun  televisi  nasional  yang beroperasi  di  Indonesia,  dengan  hanya  empat  stasiun televisi  sejenis  yang  ada  di  AS.  Padahal  belanja  iklan sebagai  napas  utama  kehidupan  telvisi,  di AS mungkin mencapai  lebih dari sepuluh kali  lipat di  Indonesia  yang pada tahun 2005 mencaai 26,5 triliun rupiah. Dampaknya tentu  pada  terjadinya  persaingan  yang  sangat  tidak sehat,  terutama  dalam  meraih  akses  pemirsa  yang ujung-ujungnya  tentu  akan  mempengaruhi  jumlah  iklan yang akan diraihnya. Tak  jarang  mentalitet  menerabas  pun  mereka lakukan  dalam  berebut  kue  iklan.  Karena  itu,  tidak mengherankan  bila  selanjutnya  banyak  tayangan  yang tidak sehat / tidak layak tonton yang tersaji, kita lihat saja misalnya  tayangan  infotainment  yang  hampir  sehari penuh  kita  saksikan  lewat  berbagai  stasiun  secara bergantian  jam  tayang,  yang  isinya  sebagian  besar gosip,  serta  info-info  lain  yang  sering  sumbernya hanya isu,  yang  jelas  selain  tidak  mendidik,  hal  tersebut bertentangan  dengan  prinsip  serta  etika  jurnalistik.
Karena  itu,  tak  kurang  akhirnya  Nahdatul  Ulama  (NU) berdasarkan  masukan  dari  berbagai  wilayah mengusulkan  dikeluarkannya  satwa  haram.  Meski  bila akhirnya  fatwa  tersebut  muncul  hanya  akan  mengikat warga  NU,  namun  setidaknya  gerakan  moral  yang dilakukan ormas  islam  terbesar di  Indonesia merupakan signal  konkret  yang  harus  memperoleh  perhatian pengelola TV. Masih banyak bagi contoh  tayangan  lain, misalnya  kasus  penganiayaan  lain,  misalnya  kasus penganiayaan  polisi  di  Abepura  secara  berlebihan sehingga Ade Armando dari KPI melakukan class action,  pertarungan  antar  suku  di  Timika  yang  penayangannya terkesan berlebihan, kekerasan antara kelompok bahkan berbagai  sajian  kekerasaan  yang  ditujukan  pada  anak misalnya Smuckdown.
Menjamunya  stasiun  televisi  menumbuhkan ketatnya persaingan antara  industri penyiaran, sehingga “perang”  program  siaran  antar  televisi  menjadi  menu wajib  sehari-hari. Program  yang  ditawarkan berorientasi pada pemenuhan selera pasar. Lihat saja program acara sinetron dengan pengusung  tema percintaan dikalangan remaja  yang  penuh  intrik  kelicikan  dan  kebencian, ketidak  disiplinan  anak  sekolah  dalam  berpakaian, hilangnya  budaya  sopan-santun,  heclonisme, infotainment  yang  mengumbar  gosip,  aib,  fitnah.  Juga film  yang menggumbar  kekerasan,  horor, mistik  sampai pada  adegan  seksual  lebih  dominan  tinimbang  acara- acara yang positif.
Pertimbangan  untung-rugi  menjadi  faktor  dominan bagi  industri  televisi  dalam  memproduksi  program. Sementara  aspek  sosial,  budaya,  dan  pendidikan menempati  urutan  paling  akhir.  Pendek  kata  kualitas belum  menjadi  prioritas.  Dalam  kondisinya  yang demikian,  keberadaan  televisi  benar-benar  menjelma menjadi  representasi  kekuatan  pasar.  Logika  ini   “mengharuskan”  pengelola  telvisi  meletakkan  dan memosisikan  masyarakat  /  pemirsa  sebagai  potensi pasar  /  obyek  yang  harus  dimaksimalkan  untuk menghasilkan  keuntungan  ekonomi  sebesar-besarnya.
Mereka  lupa  bahwa  mayoritas  masyarakat  kita  kurang terdidik  dan  kaernanya  kurang  critis,  termasuk  yang berada di pedesaan.  Mereka juga lupa bahwa sebagian pemirsa  adalah  anak-anak  dan  remaja  yang  cenderung meniru apa yang mereka lihat. Meski demikian, tentu tidak arif jika kita serta-merta memvonis  kehadiran  telvisi  dengan  sederet  program sepenuhnya  membawa  dampak  negatif.  Ada  pula  sisi  positif  yang  dapat  kita  petik  namun  karena  dominasi acara  yang  lebih  pro  terhadap  selera  pasar  sehingga menenggelamkan  sisi  positif  kehadiran  media  televisi. Karena  itulah  fungsi  dan  peran  idealnya  sebagai  agen komunikasi,  budayadan  pencerdasan  serta  mendidik mental  bangsa  termarginalisasi  oleh  kepentingan mencari  untung.  Menonton  televisi  berbeda  dengan baca-tulis.  Perkembangan  keadaannya  jauh melampaui media cetak majalah, koran, apalagi buku.
Televisi  telah menjadi  media  keluarga,  telah  menjadi  salah  satu prasyarat  yang  “harus”  berada  di  tengah  mereka. Sebuah rumah baru dikatakan  lengkap  jika ada pesawat televisi di dalamnya. Realitas masyarakat saat ini banyak dipengaruhi  media  televisi.  Pengaruh  televisi  memang tidak  harus  langsung  terlihat,  namun  terpaan  yang berulang-ulang  pada  akhirnya  dapat  mempengaruhi sikap dan tindakan pemirsa.
B. Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia
Dalam UU No.  32 Tahun 2002  tentang Penyiaran, disebut,  KPI  berfungsi  sebagai  media  informasi pendidikan,  hiburan  yang  sehat.  Kontrol  dan  perekat sosial  (pasal  4).  Dalam  menjalankan  fungsinya berwenang  menetapkan  standar  program  siaran, menyusun  peraturan,  dan  menetapkan  pedoman penyiaran,  serta mengawasi  pelaksanaannya.  KPI  juga berwenang  untuk  memberikan  sanksi  terhadap pelanggaran  standar  program  siaran,  dan  peraturan serta  pedoman  perilaku  penyiaran  (pasal  8  :  2).
Sedangkan  tugas pokok KPI antara  lain  ialah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang  layak dan benar  sesuai  dengan  HAM, menampung, meneliti,  dan menindaklanjuti  aduan,  sanggahan,  serta  kritik  dan aspirasi masyarakat  terhadap  enylenggaraan  penyiaran (8 : 3). Yang dilarang dalam  isi siaran  ialah bersifat  fitnah, menghasut,  menyesatkan  dan  bohong,  menonjolkan unsur  kekerasan,  cabul,  perjudian,  penyalahgunaan narkotika  dan  obat  terlarang,  mempertentangkan  suku, agama,  ras,  dan  antar  golongan,  memperolok-olok, merendahkan  melecehkan  dan  mengabaikan  nilai-nilai ajaran  agama,  martabat  manusia,  atau  merusak hubungan internasional (ps 36 : 5,6) Dengan terbentuknya KPI, maka kekosongan peran kontrol  terhadap  isi siaran di  televisi dan  radio sekarang sudah  terisi. Hanya saja kebanyakan warga masyarakat belum tahu keberadaan lembaga baru ini.  






PENUTUP
A. Kesimpulan
Tayangan-tayangan  TV  ternyata  bertentangan dengan apa yang telah diamanat oleh UU No. 32 / tahun 2002  tentang  penyiaran,  dimana  masih  banyak  siaran- siaran  yang  menonjolkan  unsur  kekerasan,  cabul, perjudian, dan penyalahgunaan narkoba. Stasiun televise dalam  menyiarkan  programnya  hanya  bertujuan  untuk mencari  untuk  belaka  tanpa  memperhatikan  nilai-nilai agama  dan  budaya  (etis)  dan  tidak menonjolkan  unsur pendidikan, menyampaikan informasi.

B. Saran
Menurut  saya,  saat  ini  dunia  hiburan  harus dikonstruksi sebagai bagian dari tata nilai sosial budaya. Masyarakat  dan  pers  harus  dilihatkan  sebagai pengawas.  Tradisi  saling  menyalahkan  harus  diakhiri.
Kebersamaan  dan  proporsionalitas  dalam  membuat desain  acara  mesti  menjadi  ruh  tim  kreasi,  sehingga, yang  muncul  adalah  semangat  menghibur  sekaligus mendidik  layaknya  sebuah  kehidupan  seseorang  pasti memiliki  kekuranga  dan  kelebihan  ataupun kehebatannya.  Akan  tetapi,  orang  yang  bijaksana  dan mau  berkembang  adalah  orang  yang  mau  berusaha untuk  mengurangi  kekurangannya  itu  menuju  pribadi sejati. Begitu pula dengan stasiun-stasiun TV, kiranya siap berusaha  memperbaiki  segala  kekurangan  itu  menuju stasiun  penyiaran  yang  mendidik  dan  berusaha membangun mentalitas  bangsa  dengan  tayangan  yang berkualitas  dan  memiliki  nilai-nilai  luhur.  Itulah  yang mestinya  kita  bangun  bersama.  Sudah  saatnya,  dunia infotainment  /  stasiun  tv  menjadi  lokomtof  budaya.
Sehingga  nilai-nilai  positif  yang  disampaikan  timbuh subur  di  masyarakat.  Dengan  begitu,  kebebasan informasi  yang  saat  ini mekar  tidak menjadi  racun,  tapi malah menjadi madu  lagi  pembangunan moral  bangsa. Ingat,  moralitas  sebuah  bangsa  dapat  dilihat  seberapa kualitas infomasi dan hibungan yang diserap.




DAFTAR PUSTAKA
Prof. Oemar Seno Adji, S.H. 1973. Mas Media dan Hukum.Erlangga. Jakarta.
Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang pers.
http://www.kompas.com
http://www.mediaindonesia.online.com
http://www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar