MAKALAH HUKUM PERS
Eksistensi TV Sebagai Media Penyiaran di Indonesia
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat
informasi yang makin besar tuntutannya
akan hak untuk mengetahui dan
hak untuk memperoleh informasi.
Informasi telah menjadi kebutuhan pokok
bagi masyarakat dan
telah menjadi komoditas penting
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah
membawa aplikasi terhadap
dunia penyiaran, termasuk penyiaran
di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur
informasi dan pembentuk
pendapat umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam perkembangan
demokrasi di negara kita. Penyiaran telah menjadi salah
satu sarana berkomunikasi
bagi masyarakat, lembaga penyiaran,
dunia bisnis, dan pemerintah. Perkembangan tersebut telah
menyebabkan landasan hukum pengaturan penyiaran yang ada selama ini menjadi
tidak memadai. Peran
serta masyarakat dalam
menyelenggarakan sebagian tugas-tugas
umum pemerintah, khususnya di
bidang penyelenggaraan penyiaran, tidaklah
terlepas dan kaidah-kaidah
umum penyelenggaraan telekomunikasi yang
berlaku secara universal.
Dengan diundangkan
dan diberlakukannya UU nomor
32 Tahun 2002
tentang penyiaran, dunia penyiaran kita
mengalami perubahan yang
berarti. Pertumbuhan
penyiaran radio dan
televisi baik di
kota maupun di daerah
akan meningkat. Di
samping bertambah luasnya penyiaran,
khususnya televisi, membuat banyak
perubahan struktur dari
gemeinschaft menjadi
gesselsehaft. Perubahan tersebut mengakibatkan munculnya
sifat-sifat egois pada
setiap individu. Terbukanya peluang
bagi masyarakat untuk berusaha di
bidang penyiaran juga
mengakibatkan lembaga
penyiaran tidak memperhatikan
nilai-nilai agama dan budaya
bangsa dalam menayangkan
/ mensiarkan program siarannya.
Di
bawah ini akan
dibahas, tayangan-tayangan televisi di
Indonesia yang akhir-akhir
ini banyak meresahkan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Sudah efektifkah tayangan televisi di Indonesia ?
2. Bagaimanakah peran Komite Penyiaran Indonesia ?
PEMBAHASAN
A. Keberadaan Televisi
Televisi makin
populer serta makin
perkasa di masyarakat Indonesia.
Hampir setiap pasang
mata manusia Indonesia setiap hari tertuju kepadanya. Sesuai dengan
sifat masyarakat kita yang masih masuk kategori viewers soclety (masyarakat
pemirsa), maka keberadaan televisi
makin hari makin
menjadi idola bahkan
oleh banyak kalangan sempat
disebut sebagai agama
baru.
Sadar
akan keberadaannya, maka
para pengelola televisi nasional
berusaha secara maksimal,
terutama sesuai dengan salah
satu fungsinya sebagai
lembaga teknis, saling berebut
kue keuntungan (profit). Senyalemen Theodore Adarno yang dia
sampaikan pada 1962 melalui teorinya
Political ekonomic degan menyebut bahwa
media massa akan menjadi
alat penguasa dan penguasa
untuk meraih kepentingannya, makin
menjadi kenyataan.
Sayangnya antusiasme
yang menggebu-gebu dari para pengusaha
untuk mengelola stasiun
televise (television broadcast)
menyebabkan munculnya stasiun televisi nasional
yang terlalu banyak
jumlahnya. Bandingkan
sebelas stasiun televisi
nasional yang beroperasi di
Indonesia, dengan hanya
empat stasiun televisi sejenis
yang ada di AS. Padahal
belanja iklan sebagai napas
utama kehidupan telvisi,
di AS mungkin mencapai lebih dari
sepuluh kali lipat di Indonesia
yang pada tahun 2005 mencaai 26,5 triliun rupiah. Dampaknya tentu pada
terjadinya persaingan yang
sangat tidak sehat, terutama
dalam meraih akses
pemirsa yang ujung-ujungnya tentu
akan mempengaruhi jumlah
iklan yang akan diraihnya. Tak
jarang mentalitet menerabas
pun mereka lakukan dalam
berebut kue iklan.
Karena itu, tidak mengherankan bila
selanjutnya banyak tayangan
yang tidak sehat / tidak layak tonton yang tersaji, kita lihat saja misalnya tayangan
infotainment yang hampir
sehari penuh kita saksikan
lewat berbagai stasiun
secara bergantian jam tayang,
yang isinya sebagian
besar gosip, serta info-info
lain yang sering
sumbernya hanya isu, yang jelas
selain tidak mendidik,
hal tersebut bertentangan dengan
prinsip serta etika
jurnalistik.
Karena itu,
tak kurang akhirnya
Nahdatul Ulama (NU) berdasarkan masukan
dari berbagai wilayah mengusulkan dikeluarkannya satwa
haram. Meski bila akhirnya
fatwa tersebut muncul
hanya akan mengikat warga NU,
namun setidaknya gerakan
moral yang dilakukan ormas islam
terbesar di Indonesia merupakan signal konkret
yang harus memperoleh
perhatian pengelola TV. Masih banyak bagi contoh tayangan
lain, misalnya kasus penganiayaan
lain, misalnya kasus penganiayaan polisi
di Abepura secara
berlebihan sehingga Ade Armando dari KPI melakukan class action, pertarungan
antar suku di
Timika yang penayangannya terkesan berlebihan, kekerasan
antara kelompok bahkan berbagai
sajian kekerasaan yang
ditujukan pada anak misalnya Smuckdown.
Menjamunya stasiun
televisi menumbuhkan ketatnya
persaingan antara industri penyiaran, sehingga
“perang” program siaran
antar televisi menjadi
menu wajib sehari-hari.
Program yang ditawarkan berorientasi pada pemenuhan selera
pasar. Lihat saja program acara sinetron dengan pengusung tema percintaan dikalangan remaja yang
penuh intrik kelicikan
dan kebencian, ketidak disiplinan
anak sekolah dalam
berpakaian, hilangnya budaya sopan-santun,
heclonisme, infotainment
yang mengumbar gosip,
aib, fitnah. Juga film
yang menggumbar kekerasan, horor, mistik
sampai pada adegan seksual
lebih dominan tinimbang
acara- acara yang positif.
Pertimbangan untung-rugi
menjadi faktor dominan bagi
industri televisi dalam
memproduksi program. Sementara aspek
sosial, budaya, dan
pendidikan menempati urutan paling
akhir. Pendek kata
kualitas belum menjadi prioritas.
Dalam kondisinya yang demikian, keberadaan
televisi benar-benar menjelma menjadi representasi
kekuatan pasar. Logika
ini “mengharuskan” pengelola
telvisi meletakkan dan memosisikan masyarakat
/ pemirsa sebagai
potensi pasar / obyek
yang harus dimaksimalkan
untuk menghasilkan
keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
Mereka lupa
bahwa mayoritas masyarakat
kita kurang terdidik dan
kaernanya kurang critis,
termasuk yang berada di
pedesaan. Mereka juga lupa bahwa
sebagian pemirsa adalah anak-anak
dan remaja yang
cenderung meniru apa yang mereka lihat. Meski demikian, tentu tidak arif
jika kita serta-merta memvonis
kehadiran telvisi dengan
sederet program sepenuhnya membawa
dampak negatif. Ada
pula sisi positif
yang dapat kita
petik namun karena
dominasi acara yang lebih
pro terhadap selera
pasar sehingga menenggelamkan sisi
positif kehadiran media
televisi. Karena itulah fungsi dan
peran idealnya sebagai
agen komunikasi, budayadan pencerdasan
serta mendidik mental bangsa
termarginalisasi oleh kepentingan mencari untung.
Menonton televisi berbeda
dengan baca-tulis.
Perkembangan keadaannya jauh melampaui media cetak majalah, koran,
apalagi buku.
Televisi telah menjadi
media keluarga, telah
menjadi salah satu prasyarat yang
“harus” berada di
tengah mereka. Sebuah rumah baru
dikatakan lengkap jika ada pesawat televisi di dalamnya.
Realitas masyarakat saat ini banyak dipengaruhi
media televisi. Pengaruh
televisi memang tidak harus
langsung terlihat, namun
terpaan yang berulang-ulang pada
akhirnya dapat mempengaruhi sikap dan tindakan pemirsa.
B. Fungsi Komisi
Penyiaran Indonesia
Dalam UU No. 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, disebut,
KPI berfungsi sebagai
media informasi pendidikan, hiburan
yang sehat. Kontrol
dan perekat sosial (pasal
4). Dalam menjalankan
fungsinya berwenang
menetapkan standar program
siaran, menyusun peraturan, dan
menetapkan pedoman penyiaran, serta mengawasi pelaksanaannya. KPI
juga berwenang untuk memberikan
sanksi terhadap pelanggaran standar
program siaran, dan
peraturan serta pedoman perilaku
penyiaran (pasal 8
: 2).
Sedangkan tugas pokok KPI antara lain
ialah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai
dengan HAM, menampung,
meneliti, dan menindaklanjuti aduan,
sanggahan, serta kritik
dan aspirasi masyarakat
terhadap enylenggaraan penyiaran (8 : 3). Yang dilarang dalam isi siaran
ialah bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan
dan bohong, menonjolkan unsur kekerasan,
cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan
obat terlarang, mempertentangkan suku, agama,
ras, dan antar
golongan, memperolok-olok, merendahkan melecehkan
dan mengabaikan nilai-nilai ajaran agama,
martabat manusia, atau
merusak hubungan internasional (ps 36 : 5,6) Dengan terbentuknya KPI,
maka kekosongan peran kontrol
terhadap isi siaran di televisi dan
radio sekarang sudah terisi.
Hanya saja kebanyakan warga masyarakat belum tahu keberadaan lembaga baru
ini.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tayangan-tayangan TV
ternyata bertentangan dengan apa
yang telah diamanat oleh UU No. 32 / tahun 2002
tentang penyiaran, dimana
masih banyak siaran- siaran yang
menonjolkan unsur kekerasan,
cabul, perjudian, dan penyalahgunaan narkoba. Stasiun televise dalam menyiarkan
programnya hanya bertujuan
untuk mencari untuk belaka
tanpa memperhatikan nilai-nilai agama dan
budaya (etis) dan
tidak menonjolkan unsur pendidikan,
menyampaikan informasi.
B. Saran
Menurut saya,
saat ini dunia
hiburan harus dikonstruksi
sebagai bagian dari tata nilai sosial budaya. Masyarakat dan
pers harus dilihatkan
sebagai pengawas. Tradisi saling
menyalahkan harus diakhiri.
Kebersamaan dan
proporsionalitas dalam membuat desain acara
mesti menjadi ruh
tim kreasi, sehingga, yang muncul
adalah semangat menghibur
sekaligus mendidik layaknya sebuah
kehidupan seseorang pasti memiliki kekuranga
dan kelebihan ataupun kehebatannya. Akan
tetapi, orang yang
bijaksana dan mau berkembang
adalah orang yang
mau berusaha untuk mengurangi
kekurangannya itu menuju
pribadi sejati. Begitu pula dengan stasiun-stasiun TV, kiranya siap berusaha memperbaiki
segala kekurangan itu
menuju stasiun penyiaran yang
mendidik dan berusaha membangun mentalitas bangsa
dengan tayangan yang berkualitas dan memiliki nilai-nilai
luhur. Itulah yang mestinya
kita bangun bersama.
Sudah saatnya, dunia infotainment /
stasiun tv menjadi
lokomtof budaya.
Sehingga nilai-nilai
positif yang disampaikan
timbuh subur di masyarakat.
Dengan begitu, kebebasan informasi yang
saat ini mekar tidak menjadi
racun, tapi malah menjadi
madu lagi pembangunan moral bangsa. Ingat, moralitas
sebuah bangsa dapat
dilihat seberapa kualitas
infomasi dan hibungan yang diserap.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Oemar Seno Adji, S.H. 1973. Mas Media dan
Hukum.Erlangga. Jakarta.
Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang pers.
http://www.kompas.com
http://www.mediaindonesia.online.com
http://www.hukumonline.com